Dari Bagian 1
Saat ini kami berpakaian secara informal. Sebagai ganti setelan yang
kaku, Martin mengenakan celana santai dan kaos polo. Aku memakai sebuah
blus dan rok panjang. Kali ini saat payudaraku mulai menggosok pada
tubuhnya aku bisa merasakan panas tubuhnya. Puting susuku mengeras dan
aku pikir dia pasti bisa merasakannya. Perutku adakalanya menabraknya,
menabrak kemaluan yang lurus keras yang pernah aku rasa sebelumnya. Satu
lagu berganti yang lain, sebuah nomor lambat yang lain.
Setiap kali perutku menggosok penisnya, aku bisa merasakan tangannya
pada pinggangku, dengan pelan menarikku mendekat. Tidak pernah kasar,
tidak pernah lebih dari sekedar sebuah remasan yang lembut. Sepanjang
waktu itu dia selalu bicara seolah-olah itu tidak terjadi, seolah-olah
aku tidak sedang menggosokkan payudaraku pada tubuhnya, seolah-olah
kemaluannya yang keras tidak sedang menekan ke perutku. Yang akhirnya,
saat lagu hampir berakhir, aku mundur dengan kasar dan sungguh-sungguh.
"Oops, maafkan aku Lusi. Kamu berdansa dengan sangat baik membuat aku
lupa kalau kita belum pernah berdansa bersama selama bertahun-tahun. Aku
tidak bermaksud sedekat ini." dia kembali memegang lenganku saat
menatap mataku.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk melompat mundur seperti tadi.
Maksudku aku benar-benar menikmati berdansa denganmu. Hanya aku, uh..
Yah, aku tidak ingin kamu mempunyai pikiran yang salah.. Maksudku.."
"Itu kesalahanku Lusi. Aku takut saat seorang pria berada dekat dengan
seorang perempuan cantik ada seuatu yang terjadi. Aku yakin kamu secara
kebetulan pernah mengalami itu sebelumnya." dia tertawa kecil.
"Nggak apa-apa. Aku tahu pria tidak bisa menghindarinya. Meskipun sudah
sering terjadi. Maksudku aku jarang berdansa." aku merasa cara bicaraku
gagap.
"Kita bisa pergi duduk jika kamu ingin berhenti. Tetapi aku harus
mengatakan pada kamu itu akan mengakhiri dansaku malam ini. Mata kakinya
Silvi sakit dan dia bilang padaku kalau dia sedang tidak ingin
berdansa."
"Yahh, aku tidak ingin jadi ratu pesta. Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai pemikiran yang salah."
"Aku hanya mempunyai kesan yang terbaik tentang kamu Lusi. Betapapun,
kita berdua adalah orang dewasa dan memahami peristiwa yang tertentu itu
hanya reaksi biologis yang wajar. Aku tidak bisa mencegahnya dan harus
kuakui ini merupakan sebuah kehormatan ada seorang perempuan cantik yang
mau berdansa denganku malam ini. Tetapi aku berjanji untuk menjaga
batas diantara kita." kata-katanya mengalir keluar diiringi oleh tawa
kecil.
Musik berbunyi lagi dan secara otomatis kami mulai dansa lambat yang lain.
"Apakah kamu benar-benar berpikir aku pintar berdansa? Atau kamu berusaha menjadi seorang gentleman?"
"Aku pikir kamu pintar berdansa Lusi. Jelas nyata kamu jarang berdansa tetapi iramamu sempurna."
Badan kami saling bersentuhan. Dia bergerak jelas agar tak saling bersentuhan.
"Jangan cemas Martin. Kamu tidak harus begitu setiap kali kita bersentuhan."
Aku bergerak merapat padanya. Aku ingin merasakan tubuhku yang menekan
tubuhnya, menekan kemaluannya. Segera saja kita berdansa dengan rapat.
Saat aku menggosok perutku terhadap 'kekerasannya', tangannya di
pinggangku dengan lembut menarikku. Aku bisa merasakan puting susuku
mengeras, dia pasti bisa merasakan itu saat menekan tubuhnya. Aku bisa
merasakan gerakan ereksinya saat perutku menggosok dia. Aku merasa
kehangatan diantara kakiku saat tubuhku menjadi bergairah. Aku tahu
bahwa celana dalamku sudah menjadi basah. Aku serasa berada di surga
kesenangan. Aku merasa kalau aku sangat jahat tapi aku sedang menikmati
itu. Kemudian musik berakhir.
Kami bergabung kembali dengan Silvi dan Tom di meja itu. Hampir tengah
malam. Tepat tengah malam semuanya bersorak dan berteriak. Aku mencium
Tom panjang dan dalam, sebagian karena aku merasa bersalah tentang dansa
bersama Martin tadi, tentang gesekan pada ereksinya, dan menekankan
payudaraku padanya. Martin dan Silvi yang berada di sebelah kami, saling
berpelukan mesra. Aku bisa lihat tangan Martin pada pantatnya, dengan
jelas menariknya merapat padanya dan aku tahu bahwa dia sedang
menggelinjang pada ereksinya yang keras.
Mereka merenggang dan Silvi merebut Tomku dan memeluknya, dia telah
memutar Tom sedemikian rupa sehingga punggungnya berada di depanku.
Martin berbisik 'Bolehkah saya' saat dia membuka lengannya. Aku
memeluknya dan mengijinkan dia menciumku, kemudian saat aku merasa
tangannya pada pantatku. Aku membuka mulutku dan mendapatkan sebuah
'French-Kiss', merasakan dia menarikku semakin merapat padanya aku
merasakan lagi ereksinya yang keras. Kemudian selesai.
Malam itu aku mendapat mimpi basah yang liar. Aku belum pernah bermimpi
seperti itu sejak aku berumur sepuluh tahun. Paginya aku mempunyai mimpi
buruk mengerikan dari apa yang telah aku lakukan. Terima kasih surga
untuk Siska. Aku cerita padanya dan dia senang mendengarkannya. Kita
memutuskan bahwa tidak ada yang buruk yang telah terjadi. Sekali lagi,
aku pikir, benar begitu, tidak ada. Sekalipun begitu aku masih
mendapatkan diriku memikirkan dansa itu, tentang ciuman itu.
*****
Sepertinya aku bertemu Silvi dan Martin lebih sering setelah tahun baru.
Aku sekarang tahu bahwa pekerjaan Martin membuatnya sering pergi ke
luar kota, untuk urusan mebel mereka. Sebagai sampingannya dia membeli
perhiasan dari daerah yang di kunjunginya, yang dia jual ke beberapa
toko lokal. Ini aku ketahui saat aku bilang ke Silvi kalau ibuku telah
mengirimiku uang untuk membeli sebuah kalung.
"Lusi, datanglah kemari dan lihat apa yang Marty punyai. Dia membawa
beberapa barang dari luar kota. Jika dia punya sesuatu yang kamu suka,
kamu akan membayar seperempat dari apa yang David jual di tokonya. Ini
bukan barang rongsokan, dilapisi perak dan emas. Dan tidak kelihatan
seperti barang murahan, ini adalah yang mereka ekspor ke luar negeri."
"Aku tidak bisa."
"Tentu kamu bisa. Aku memaksamu. Jika kamu tidak temukan yang kamu
sukai, jangan merasa sepertinya kamu harus membeli apapun. Dia tidak
punya masalah menjual barang barang ini ke David. Dia akan pulang pada
siang hari, mampirlah nanti."
Aku mengetuk pintu mereka sekitar jam 12:15.
"Masuk, masuk. Waktu yang tepat. Marty baru saja tiba dirumah dan aku
bilang padanya kamu mungkin ingin beberapa perhiasan. Marty". Silvi
berteriak saat dia mengantarku ke meja ruang makan.
"Tunggu sebentar, aku hampir keluar dari kamar mandi." aku mendengar suara Martin dari atas.
"Sayang, bawa kalungnya biar dia dapat melihatnya saat kamu selesai."
"OK, ok."
Dengan segera Martin muncul membawa dua buah koper. Rambutnya kusut dan
basah dan dia mengenakan sebuah jubah mandi putih yang hanya sampai di
lutut.
"Halo Lusi. Aku harap aku punya apa yang kamu sukai. Aku membawa
beberapa emas dan perak." katanya saat dia berdiri di seberang meja di
depanku membuka koper itu. Kemudian dia memutar koper ke arahku dan
mulai melangkah pergi.
"Oh! Tunggulah sebentar sayang. Tunjukkanlah pada Lusi bagaimana cara membaca sertifikat yang menjelaskan isi perhiasan ini."
Dia berbalik, duduk di depanku. Dia mengambilt sebuah kalung beserta
sebuah dokumen kecil. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada kalung, semua
yang bisa kupikir adalah cerita tentang Siska yang melihat menembus kaca
meja. Deja vu!
Martin sedang bicara, aku tidak sedang mendengarkannya. Koper itu
menghalangi pandanganku. Tanpa berpikir, aku menggesernya ke samping.
Sekarang dia sedang memegang kalung itu dan aku menatapnya.. Lebih
memperhatikan tetapi benar-benar sedang memperhatikan pada kemaluannya.
Itu sama persis seperti yang Siska ceritakan. Kakinya terbuka lebar, dia
duduk di pinggir kursi. Kemaluannya tergantung terayun-ayun saat dia
bergerak. Itu terlihat sangat besar buatku. Aku merasa wajahku mulai
terasa hangat dan menyadari bahwa wajahku pasti merah.
Suara Silvi menghentikan tatapan mataku.
"Dengar sayang, aku harus pergi belanja. Jika kamu telah dapat apa yang
Lusi inginkan lebih baik kamu berikan padanya. Lusi sayang, maafkan aku,
aku lupa kalau aku harus pergi tapi kamu ditangan ahlinya dengan Marty.
Sampai jumpa sayang, aku akan kembali sekitar jam setengah tujuh." dan
dia pergi ke pintu keluar.
"Sampai jumpa sayang."
"Katakan padaku jika kamu lihat apapun yang kamu suka." kata Marty saat dia menyebar beberapa kalung di atas meja itu.
Menyebarnya sedemikian rupa sehingga garis pandangku pada kalung-kalung
itu juga searah pada daging pisang berwarna yang panjang berayun di
bawah. Siska telah mengatakannya menyerupai sebuah pisang besar. Itu
bahkan mempunyai sebuah ujung seperti sebuah pisang.
"A.. A.. Aku ng.. Tidak tahu.. Ini jauh lebih dari yang aku harapkan."
"Jangan cemas Lusi. Jika kamu tidak lihat apa yang kamu suka, aku paham.
Aku tidak pernah memaksa barang-barangku pada seseorang. Santai saja.
Kadang-kadang hanya manis untuk dilihat saja."
Aku lihat dia mengedip saat aku melihat ke arahnya.
"Ini, bagaimana jika kita mencoba yang ini pada lehermu dan kamu dapat
lihat bagaimana ini terlihat di kulitmu?" katanya saat dia bangkit
dengan sebuah kalung emas besar yang indah di tangannya.
"OK, barangkali itu sebuah ide yang bagus." aku melihat dia bergerak,
jubahnya sekarang sedikit terbuka saat dia berdiri dan bergerak,
penisnya mengayun keluar masuk dari sudut pandangan.
Ke Bagian 3